(Update Januari 2020)
Tahun 2019 sudah selesai. Itu berarti waktunya bagi Selipan untuk menghimpun kumpulan film terbaik 2019. Artikel ini pun mungkin akan menjadi artikel terakhir yang dipersembahkan oleh tim Selipan. Karena per Januari 2020, Selipan nggak akan aktif lagi memproduksi konten. Yup, ini adalah artikel perpisahan.
Semoga artikel ini bisa bermanfaat sebagai bahan rekomendasi dan pilihan menonton, wahai pembaca setia Selipan (atau kamu yang nemu artikel ini lewat Google). Enjoy!
1. Us

Sutradara Jordan Peele yang sempat menghentak dunia lewat Get Out, kembali menawarkan kita satu sajian horor yang sarat dengan kritik sosial. Dengan mengusung judul Us, kali ini Peele mengajak kita untuk menyelami horor dari doppelganger.
Saat nonton film ini, nggak tahu kenapa saya jadi teringat sama episode-episode klasik serial The Twilight Zone (yeah, saya suka nonton episode jadul yang warnanya masih hitam putih itu). Di beberapa kesempatan saya dibikin sangat nggak nyaman karena atmosfernya yang disturbing. Tapi di sisi lain, nggak jarang juga saya dibikin cekikikan karena, well, keanehan yang ada di dalamnya.
Satu lagi, permulaan film ini kelihatan kayak home invasion. Tapi jangan berharap kamu cuma bakal nonton film home invasion biasa. Us lebih dari itu. Ini film mengundang penontonnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang sifat dasar manusia.
~ Dhika
2. John Wick 3: Parabellum

Kamu punya teman yang sering bertingkah laku konyol, dan ia sendiri sadar betul sama kekonyolannya itu? Alih-alih berlagak cool, teman kamu itu malah memanfaatkan kekonyolannya untuk mendapat perhatian orang lain. Dan ajaibnya, orang-orang menyukainya.
Kalau mau dianalogikan, John Wick 3 mirip teman kamu yang konyol itu. Ceritanya konyol, karakter-karakternya konyol, nama-nama karakternya pun ada yang konyol. Bahkan sebagai film action, nggak jarang adegan aksinya dieksekusi dengan cara yang absurd pula.
Menunggang kuda di jalanan Kota New York? Saya sampai ketawa ngakak saat lihat adegan ini.
Tapi mungkin kekekonyolan sederhana itulah yang jadi ciri khas dan daya tarik dari setiap seri John Wick, nggak terkecuali seri ketiganya ini. Dan jangan lupakan juga, sisi aksinya pun layak mengundang decak kagum.
Jangan pernah berubah, John. Tetaplah seperti itu.
~ Dhika
3. Toy Story 4

Satu harapan saya, semoga Pixar nggak bikin lagi sekuel dari Toy Story. Biarkan seri keempatnya jadi film terakhir deh. Kecuali… kecuali kalau Pixar sanggup melanjutkan petulangan Woody dkk. dengan lebih emosional di Toy Story 5.
Yup, film ini punya makna emosional lumayan besar buat mereka yang tumbuh besar di era 90-an. Tapi Toy Story 4 tentu nggak akan mengundang banyak pujian kalau hanya mengandalkan nostalgia doang ‘kan? Coba kamu tanya ke diri sendiri, apa kamu dibuat bosan saat menontonnya?
Saya yakin jawabannya nggak. Sedari film pertamanya sampai seri yang keempat ini, Pixar masih sanggup membuat karya yang menghibur lewat lelucon-lelucon jenakanya, penambahan karakter baru yang gampang kita sukai, sekaligus isu filosofis yang disisipkan secara implisit.
~ Dhika
4. Pokemon: Detective Pikachu

Saya pernah menulis artikel yang membahas tentang, kenapa banyak film adaptasi video game yang berakhir mengecawakan? Detective Pikachu jelas merupakan pengecualian. Saya mesti angkat topi terhadap cara film ini diarahkan.
Ceritanya memang nggak terlalu berat buat dicerna, karena memang film ini ditujukan buat ramah keluarga. Tapi yang paling bikin saya nggak nyangka, kisahnya mengandung twist yang diramu dengan cukup meyakinkan. Walaupun sayangnya, cara penceritaan dan struktur plot secara keseluruhan cenderung kurang rapi.
Tapi hey, ini film tentang Pokemon, bukan biografi Einstein. Terlepas dari kekurangannya, beberapa kali saya nggak sadar terbawa suasana saat mantengin layar. Dilihat dari sisi hiburannya, Detective Pikachu udah lebih dari memuaskan.
~ Dhika
5. Avengers: Endgame

Kalau nggak dieksekusi dengan apik, film yang durasinya lama itu bisa sangat membosankan buat ditonton. Tapi dengan durasinya yang lebih dari tiga jam, Avengers: Endgame sanggup membuat banyak penonton rela menahan pipis di bioskop.
Apa aja poin keunggulan dari Endgame, itu nggak bakalan muat kalau ditulis di artikel listicle kayak gini. Bila kamu mau baca opini singkat kami tentang Avengers: Endgame, silakan buka artikel ini:
Saya sendiri jadi pengin nonton lagi nih. Tapi saya yakin, kamu yang udah nonton pun nggak bakalan bosan kalau nonton ulang Endgame. Ini film memang layak ditonton berapa kali pun.
~ Dhika
6. Spider-Man: Far From Home

Dibandingkan The Amazing Spider-Man yang dibintangi Andrew Garfield, Spider-Man: Far From Home jauh lebih amazing.
Oke, katanya sih, membanding-bandingkan suatu hal dengan hal yang lain tuh bukan perbuatan bagus ‘kan? Jadi, mari kita pandang film ini sebagai film yang berdiri sendiri.
Tapi yaah, sebagai film yang berdiri sendiri pun, Spider-Man: Far From Home tetap amazing. Semuanya kelihatan seimbang dalam artian yang positif: mulai dari pengembangan ceritanya yang jadi pembuka pasca-End Game, akting para aktornya dan chemistry yang terjalin di antara mereka, humor-humor ala Spider-Man versi komik yang diaplikasikan dengan baik, Jake Gyllenhaal sebagai Mysterio, dan twist mengejutkan di bagian ending.
~ Dhika
7. Once Upon a Time… in Hollywood

Komedi gelap, kebrutalan yang berlebihan, tragedi, isu kontroversial, semua itu berbaur menjadi satu dalam film kesepuluh dari Quentin Tarantino ini. Walaupun, memang hampir semua film Tarantino pasti mengandung unsur-unsur itu sih.
Mengambil setting di tahun 60-an, Once Upon a Time… in Hollywood menggambarkan bagaimana budaya pop pada masa itu memengaruhi pola pikir individu, khususnya di industri perfilman. Keluarga Manson yang jadi salah satu inspirasi dan bahan untuk film ini (dan juga cara Tarantino menggambarkannya) patut mendapat perhatian lebih. Karena merekalah yang bakal jadi kunci dari bagian klimaksnya yang gila.
Satu poin tambahan: tanpa bermaksud melebih-lebihkan, akting dari duet Leonardo DiCaprio dan Brad Pitt benar-benar mengagumkan di film ini.
~ Dhika
8. Parasite

Film ini nyaris tanpa cela, kalau nggak bisa disebut sempurna. Di separuh awal durasi, nggak terhitung berapa kali saya dibikin ketawa terpingkal-pingkal oleh sajian komedi gelap dari anggota keluarga Kim. Tapi apa yang paling mengena dari film ini adalah kritik pedasnya terhadap ketimpangan sosial. Dalam sistem kapitalistik yang mendominasi dunia saat ini, seringkali tindakan kriminal yang dilakukan seseorang memang bersumber dari kondisi hidupnya yang diliputi kemiskinan.
Dan lewat Parasite, sutradara Bong Joon-Ho melemparkan realitas kelam dari masyarakat kita yang terbagi-bagi ke dalam kelas sosial… dengan cara yang sangat menohok sekaligus elegan.
Saya nggak pernah kasih skor untuk menilai film (karena saya merasa diri bukan kritikus film profesional). Tapi khusus untuk Parasite, saya pengin membuat pengecualian. Film ini layak banget buat dapat skor 10 dari total skor 10.
~ Dhika
9. Midsommar

Kalau mau diringkas, Midsommar itu punya kemiripan yang kental dengan film Ari Aster sebelumnya, Hereditary. Salah satunya, mereka sama-sama melibatkan sekte.
Midsommar sendiri bukanlah film horor yang mengandalkan jumpscare atau penampakan hantu yang wujudnya, gimanaaa gituh. Ia lebih memilih untuk memancing rasa takut dalam diri penonton dengan cara mempermainkan sisi psikologis kita, membuat kita merasa sangat nggak nyaman saat memandangi layar.
Ini juga bukan film horor yang bisa bikin semua orang terkesan, sekalipun orang itu pada dasarnya merupakan pencinta horor. Tapi Midsommar punya kualitas yang bisa bikin ia berpotensi besar jadi salah satu karya horor klasik.
~ Dhika
10. Booksmart

Olivia Wilde menunaikan tugasnya dengan baik dalam debutnya sebagai sutradara lewat Booksmart. Ia mampu memberi kita film komedi yang memang beneran lucu dan cerdas. Dan ia melakukannya lewat film bertema Anak SMA, tema yang udah sering banget dipakai di genre komedi.
Kalau kita menilik genre komedi secara keseluruhan, Booksmart memang kurang menampilkan sesuatu yang baru. Tapi buat kamu yang lagi butuh hiburan, film ini wajib jadi pilihan utama.
Kalau kamu termasuk tipe orang yang selama ini selalu fokus belajar, sampai lupa caranya bersenang-senang, mungkin kamu bakal lebih merasa terhubung sama apa yang dialami oleh Molly dan Amy.
~ Dhika
11. The Last Black Man in San Fransisco

Apa pesan moral yang pengin disampaikan oleh The Last Black Man in San Fransisco? Mungkin yang paling kentara adalah kisah tentang persahabatan yang diwakili oleh dua karakter utamanya, Jimmie Fails dan Montgomery.
Tapi saya merasakan sesuatu yang lebih dalam dari film ini, sesuatu yang berhubungan dengan pencarian tujuan hidup, sudut pandang orang kulit hitam di Amerika, dan bagaimana sejarah serta lingkungan bisa memengaruhi pola pikir seseorang. Contoh yang paling bagus bisa kamu lihat dari obsesi Jimmie untuk mengambil alih kembali rumah yang dibangun kakeknya. Tapi begitu kamu lihat gimana ujung dari perjuangan Jimmie, beuh… rasanya sedih nggak terkira. Menusuk ulu hati banget.
~ Dhika
12. The Art of Self-Defense

Mungkin sebagian besar pria di planet bumi yang tercinta ini masih menganggap kekuatan adalah kunci agar cowok bisa disebut maskulin. Apa? Kamu juga termasuk orang yang berpikiran kayak begitu?
Tunggu dulu… baiknya kamu tonton The Art of Self-Defense. Ini adalah film satir yang menyindir habis-habisan, bahkan seakan menertawai, pandangan tradisional soal maskulinitas. Dan saya harus bilang, caranya dalam menyindir beneran kocak banget.
Jesse Eisenberg sekali lagi memerankan karakter pria culun penakut yang kemudian berkembang mengalahkan kelemahan dirinya. Dan ia kayaknya memang lebih bisa mengeluarkan potensinya saat memerankan karakter seperti itu deh, seperti yang dilakukannya di film Zombieland.
~ Dhika
13. Crawl

Sebagai penikmat genre horor dan thriller, saya mengagumi film High Tension besutan sutradara asal Prancis, Alexander Aja. Tapi saya juga nggak menyangka ia bisa membuat film seperti Crawl – yang menceritakan teror serangan aligator – jadi begitu menegangkan. Maklum, saya masih teringat sama Piranha 3D, film horor yang juga disutradarai Aja, tapi lebih kelihatan kayak film horor kelas B.
Crawl sebenarnya dibangun dengan simpel banget. Ceritanya berpusat pada ayah dan anak yang berusaha bertahan hidup dari terkaman gigi tajam aligator. Tapi kesederhanaan itu nyatanya mampu menumbukan rasa simpati saat saya melihat perjuangan Haley sang karakter utama. Keputusan untuk memusatkan fokus pada hubungan dua orang manusia dan sekelompok aligator terbukti sangat jitu, meskipun sulit memungkiri performa brilian Kaya Scodelario yang memerankan Haley jadi penggerak utama intensitas film.
~ Dhika
14. Portrait of a Lady on Fire

Cinta memang nggak kenal aturan. Sepasang gadis pun pada akhirnya bisa saling mencintai jika takdir berkata demikian. Tapi kisah cinta semacam itu bakalan sulit untuk dipertahankan, khususnya di abad 18, zaman ketika budaya patriarki begitu kental mendominasi. Well, itulah poin yang tercermin dari The Portrait of a Lady on Fire.
Seperti judulnya, film karya Celine Sciamma ini berpusat pada lukisan yang (nggak disangka-sangka) jadi bukti kisah asmara antara pelukis dan objek lukisnya. Tapi menurut saya, film ini adalah lukisan itu sendiri: indah, menyentuh, dan sarat makna. Sesekali saya dimanjakan oleh adegan simbolis yang memberi kesan puitis dalam penyampaian narasinya.
Kalau kamu pengin nonton drama romantis yang nggak biasa, Portrait of the Lady on Fire adalah opsi terbaik dari seluruh film yang rilis tahun 2019.
~ Bayu
15. Knives Out

Biasanya, film misteri pembunuhan menggoda penonton buat ikut berpikir keras memecahkan teka-teki. Knives Out berbeda dari film miteri atau detektif pada umumnya. Ceritanya cukup ringan buat dicerna, karena penonton bakal lebih sering dihubur oleh adegan komedinya. Kombinasi misteri-komedi yang diramu dengan baik inilah yang bikin Knives Out sangat sayang untuk dilewatkan.
Misteri berpusat pada kematian penulis novel Harlan Thrombey (Christopher Plummer). Ia wafat setelah merayakan ulang tahunnya yang ke-85 bersama keluarga besar. Investigasi yang dilakukan detektif Benoit Blanc (Daniel Craig) mengungkap kalau masing-masing anggota keluarga Thrombey berpotensi menjadi tersangka. Di sinilah Knives Out menunjukkan karismanya, baik sebagai film misteri maupun komedi.
Di satu sisi, penonton bisa dibuat terhibur oleh interaksi antar karakternya yang mengundang gelak tawa. Di saat bersamaan, penonton juga bakal terus dibuat penasaran tentang siapa dalang di balik kematian Harlan Thrombey.
~ Bayu
16. The Irishman

Martin Scorsese pernah membuat genre film mafia berjaya lewat Goodfellas (1990) dan Casino (1995). Dan nampaknya di tahun ini, Scorsese kembali menyuguhkan pesona genre mafia dalam wujud biopik The Irishman.
The Irishman mengajak kamu menelusuri sisi gelap dunia politik Amerika tahun 70-an yang melibatkan pembunuh bayaran, Frank Sheeran (Robert De Niro); presiden serikat pekerja Teamster Union, Jimmy Hoffa (Al Pacino); dan bos mafia, Russell Bufalino (Joe Pesci). Lewat sudut pandang Frank Sheeran, The Irishman mencoba mengisahkan kembali rentetan skandal politik yang berujung hilangnya Jimmy Hoffa di tahun 1975.
The Irishman nggak bakal memanjakan kamu lewat adegan kekerasan yang berlebihan. Tapi saya berani jamin, kamu bakal terhanyut dalam kisah persahabatan melodramatik antara Sheeran dan Hoffa. Penyampaian narasi yang bagus ditambah akting menawan De Niro, Pacino, dan Pesci, membuat durasi film 3,5 jam jadi terasa singkat.
Oh iya, film ini didukung efek CGI mutakhir yang bikin wajah tiga aktor utama (semuanya udah aki-aki) jadi terlihat muda dan ganteng lagi.
~ Bayu
17. The Farewell

Berbohong itu bukanlah hal yang terpuji. Tapi bagaimana kalau berbohong demi kebaikan nenek yang divonis kanker dan sisa hidupnya nggak bakal lama lagi? Menurut The Farewell, kebohongan semacam itu… boleh banget!
Film drama komedi besutan Lulu Wang ini mengisahkan kebohongan besar yang dilakukan keluarga nenek Nai Nai. Tapi Billi, cucu semata wayang nenek Nai Nai, awalnya menentang keras kebohongan sistematis yang dilakukan keluarganya. Sebagai wanita yang dibesarkan di Amerika, Billi menganut pandangan barat yang cenderung terbuka dan transparan terhadap suatu masalah. Bertolak belakang dengan budaya ketimuran, khususnya Tionghoa, yang dianut ayah, ibu, dan kerabat Billi lainnya.
Perbedaan budaya inilah yang mampu diramu Lulu Wang menjadi drama keluarga yang indah, jenaka, dan menyentuh hati. Lebih dari itu, film ini adalah pengingat betapa pentingnya arti keluarga dalam kehidupan kita.
~ Bayu
18. Joker

Mungkin inilah film paling mengundang hype di tahun 2019 setelah Avengers: Endgame. Saking digandrunginya, netizen sempat membikin gaduh dunia maya dengan meme “Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti.” Meski begitu saya yakin, nggak semua orang jahat terlahir dari orang baik yang dizalimi kayak Arthur alias Joker. Tapi bukan itu poin utamanya.
Dari munculnya meme di internet, kita bisa menarik kesimpulan bahwa Joker punya cerita yang nggak mudah dilupakan penonton. Saya sendiri merasa terhanyut tatkala mengugkap kehidupan pribadi Arthur yang penuh ironi dan tragedi. Lewat alur cerita yang begitu gelap, saya diajak memahami proses terciptanya villain paling ikonis di jagat superhero DC.
Proses terlahirnya Joker secara keseluruhan memang terasa masuk akal. Kecuali satu hal: di film ini saya sulit memahami jalan pikiran Arthur. Saya bisa dengan mudahnya bersimpati terhadap nasib Arthur, tapi nggak bisa mengerti jalan pikirannya. Mungkin karena pada dasarnya Arthur memang udah punya bibit-bibit psikopat (yang jadi daya tarik Joker). Atau mungkin juga karena performa gemilang dari sang aktor, Joaquin Phoenix? Entahlah. Tapi harus diakui, di film ini Joaquin Phoenix terlihat sangat menjiwai karakter Joker.
Saya juga nggak ngerti kenapa Joker sebelumnya nggak ada di daftar film terbaik 2019 ini!? Selera dan opini saya dengan Dhika memang berbeda. Tapi karena dia nggak memasukkan Joker ke dalam film terbaik 2019, saya bakal bakal masukkin semut merah ke kolornya nanti.
~ Bayu
19. Marriage Story

Banyak yang bilang, Marrage Story nggak cocok ditonton orang yang mau nikah. Ya, betul sekali. Saya udah nonton dan saya mesti setuju sama apa yang dikatakan orang-orang. Alasannya, konflik yang diangkat Marrige Story cukup relevan dengan problematika pernikahan di kehidupan nyata. Buat saya, film ini seolah memperkuat anggapan umum: pernikahan seringkali nggak seindah yang dibayangkan.
Ironisnya, meski drama romantis ini berjudul Marriage Story (kisah pernikahan), nyatanya ia lebih banyak berbicara soal proses perceraian yang sangat menguras emosi. Mungkin itu alasan mengapa penonton nggak menyarankan film ini ke orang yang hendak membina rumah tangga.
Tapi isu pernikahan yang klise tentu bakal terasa membosankan kalau nggak dieksekusi dengan baik. Untuk mengatasi itu, sutradara Noah Baumbach sudah menyiapkan skenario yang apik, didukung akting jempolan dari Scarlett Johansson dan Adam Driver.
~ Bayu
20. For Sama

Sudah hampir delapan tahun sejak Suriah pertama kali diguncang perang saudara. Selama itu pula, banyak sineas (amatir maupun profesional) yang merekam kejadian tragis di Suriah dan mengemasnya dalam bentuk film dokumenter. Dan For Sama disebut-sebut sebagai film dokumenter terbaik tentang penderitaan penduduk sipil Suriah. Film ini direkam lewat kamera seorang wanita bernama Waad Al-Kateab yang tinggal di Kota Aleppo.
For Sama nggak hanya menampilkan keseharian Al-Kateab yang sering diwarnai serangan teroris dan ledakan bom aja. Lebih dari itu, ia menyajikan drama tentang bagaimana Al-Kateab menikah dengan pria pujaannya, melahirkan bayi, dan hidup bersama keluarga kecilnya di zona konflik. Video diari ini didedikasikan untuk anak Al-Kateab yang diberi nama Sama.
Film ini berhasil membuat penonton merasakan apa yang dirasakan penduduk korban konflik Suriah. Kisahnya begitu menegangkan, mengharukan, dan… aaaah, rasanya begitu berat kalau saya mesti mengetikkannya di sini. Mending langsung kamu tonton aja deh filmnya.
~ Bayu
The post 20 Film Terbaik 2019 yang Wajib Kamu Tonton appeared first on Selipan.com.